Label

Jumat, 26 November 2010

PERNYATAAN SIKAP  WARGA MUHAMMADIYAH / KAMPUNG KAUMAN YOGYAKARTA 
TERHADAP PENYELENGGARA FFI.

Film “Sang Pencerah” jelas sangat punya arti khusus bagi kami warga muhammadiyah atau warga Kampung Kauman Yogyakarta.Suatu penghargaan yang sangat besar untuk kami ketika kisah Kiai Ahmad Dahlan yang seorang pahlawan nasional sekaligus pendiri organisasi Muhammadiyah di tuangkan dalam sebuah film.Hampir 2 juta penonton yang telah mengapresiasi film ini termasuk beberapa menteri dan pejabat negara, bapak wakil presiden Boediono pun tak ketinggalan memberikan penilaian dua jempol untuk film ini.
Kepentingan kami terhadap film “sang pencerah” sangatlah sederhana,kami hanya ingin menggunakan film ini sebagai media da’wah kami menyampaikan atau meneruskan ajaran-ajaran Kiai Ahmad Dahlan tentang toleransi beragama,bersikap adil dan saling mengasihi antar sesama.
Oleh karena itu, tidak bisa di pungkiri bahwa kami sesungguhnya menginginkan film yang bercerita tentang sejarah pendahulu kami, film yang bercerita tentang sejarah berdirinya organisasi kami ini di apresiasi lebih oleh sebuah lembaga festival film, entah festival film di luar negeri atau di dalam negeri sendiri.Karena kami menganggap di situlah salah satu tempat kami untuk melakukan da’wah tentang ajaran-ajaran Kiai Ahmad Dahlan.
Sayangnya niat kami itu di hambat oleh sikap dan pernyataan dari panitia Festival Film Indonesia (FFI) sendiri.dalam suatu kesempatan ibu Viva Westi selaku ketua komite seleksi FFI menyatakan bahwa film “sang pencerah” salah dalam menggunakan landasan history dan banyak data sejarah yang salah. Sejarah Kiai Ahmad Dahlan dan sejarah Muhammadiyah memang milik bangsa, tetapi jangan melupakan kami sebagai pihak yang mempunyai keterikatan langsung di dalam sejarah tersebut.Sejarah Kiai Dahlan yang mana yang di anggap salah? sejarah tentang Muhammadiyah yang mana yang di anggap salah?
Seandainya memang ada kesalahan data atau cerita sejarah yang salah menyangkut pendahulu kami, apakah kami akan merasa di rugikan?
Kami selaku pihak yang mempunyai keterikatan langsung terhadap sejarah Kiai Ahmad Dahlan dan Organisasi Muhammadiyah tidak pernah di konfirmasi oleh pihak FFI atau Komite Sejarah sehubungan dengan pernyataan dan penilaiannya tentang kesalahan data sejarah di dalam film “Sang Pencerah”.
Dalam permasalahan ini Kami menganggap pihak FFI atau Komite Seleksi FFI telah menghambat niat Da’wah dan siar kami menyampaikan ajaran-ajaran Kiai Ahmad Dahlan. dan sedikit melukai hati kami
Oleh karena itu kami menyatakan kecewa terhadap apa yang di lakukan oleh pihak FFI dan Komite Seleksi FFI
Semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan petunjuk Nya kepada kita semua...Amiin

Senin, 22 November 2010

Khutbah Idul Adha

Khutbah Idul Adha
10 Dzulhijjah 1431 H/ 16 November 2010 M

KONTEKSTUALISASI PENGORBANAN DAN PERJUANGAN IBRAHIM: “MENUMBUHKAN BUDAYA KEDERMAWANAN, TOLONG MENOLONG, DAN KERJA KERAS DI TENGAH BENCANA ALAM DI INDONESIA”
Prof. Dr. Edy Suandi Hamid, M. Ec
Rektor Universitas Islam Indonesia


Jama’ah shalat Idul Adha yang berbahagia,
Alhamdulillahirabbil‘alamin, suatu kata yang layak kita ucapkan pagi ini, karena demikian banyak limpahan rahmat dan karunia-Nya yang kita terima dari-Nya, termasuk pagi hari ini kita masih diberi-Nya kesempatan untuk melaksanakan shalat Idul Adha, berjama’ah di tempat yang lapang ini, tanpa ada halangan suatu apapun. Rutinitas nikmat yang kita terima terkadang membuat kita lupa untuk mensyukuri nikmat yang sungguh agung, yaitu berupa nikmat kehidupan, nikmat kesempatan yang memungkinkan kita untuk menikmati atau melakukan sesuatu yang kita inginkan. Oleh karena itu, sungguh naif apabila kita mengingkari nikmat yang telah Allah berikan kepada kita sebagai hamba-Nya, sebagaimana diingatkan Allah secara berulang di dalam surat Ar-Rahman (55:13):
Artinya: “Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?
Kenikmatan kita bisa melaksanakan shalat Idul Adha pagi ini, tidak belum tentu dinikmati juga oleh saudara kita yang lain yang sebenarnya juga ingin melakukannya. Bencana banjir Wasior, Tsunami Mentawai, dan Ketusan Merapa di Jogja-Jawa tengah, bisa jadi membuat saudara-saudara kita yang ingin melaksanakan shalat Idul Adha sebagaimana yang kita laksanakan pagi hari ini, namun karena berbagai situasi dan kondisi, mereka tidak dapat melaksanakannya. Atau seandainya bisa melaksanakan pun tentunya suasananya tidak senyaman yang kita dirasakan di tempat ini. Pada kesempatan ini, marilah kita juga mendo’akan agar saudara-saudara kita yang sedang ditimpa musibah bencana alam dapat diberikan kesabaran dan keikhlasan dalam menghadapinya, dan segera bisa bangkit kembali dari tragedi alam dan kemanusiaan yang menimpanya. amiin         
Shalawat dan salam semoga selalu terlimpahkan ke haribaan nabi besar Muhammad SAW, yang dengan segenap pengorbanannya telah menyampaikan risalah Islam kepada umatnya. Semoga kita termasuk dari golongan umatnya yang senantiasa dapat melaksanakan sunnah-sunnahnya hingga akhir zaman nanti.

اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ. لاَّإِلَهَ إِلاَّ اللهِ وَ اللهُ أَكْبَرُ. اللهُ أَكْبَرُ وَللهِ الحَمْدُ

Jama’ah Sholat Idul Adha yang berbahagia,
Prosesi dan perayaan Idul Adha hari ini dan ibadah haji yang dilaksanakan saudara-saudara kita di tanah suci, tidak bisa dilepaskan dari napak tilas pengorbanan Nabi Ibrahim As bersama istri (Siti Hajar) dan anaknya (Ismail As). Pada momen ini, kita sedikit mengingat kembali peristiwa tersebut seraya mengambil hikmah di baliknya. Bermula dari usia perkawinan Nabi Ibrahim As dengan Siti Sarah yang sudah cukup lama, namun belum kunjung dikarunia seorang anak pun. Sebagai insan manusia, tentu beliau sangat berharap untuk segera dikarunia anak yang dapat menjadi generasi penerusnya. Beliau secara khusu’ terus menerus memanjatkan do’a:

Ya Tuhanku, anugrahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang shaleh (QS. as-Shafat: 100)
Atas ijin Siti Sarah, kemudian beliau memperistri Siti Hajar dan akhirnya dikaruniai seorang anak bernama Ismail. Di saat Isma’il masih menyusu, Nabi Ibrahim As diperintahkan oleh Allah SWT untuk membawa Siti Hajar dan Isma’il ke suatu lembah gersang yang sunyi dan tidak ada penduduk seorang pun, dan ini diterimanya dengan penuh keikhlasan dan kesabaran. Di tempat tersebut, yang kemudian menjadi Kota Mekkah Al-Mukaramah, Siti Hajar mengalami krisis air, sehingga tidak lagi bisa menyusui. Kemudian Siti Hajar mencari air sambil berlari-lari kecil (sa’i) di antara bukit Sofa dan Marwah sebanyak tujuh kali, sampai ditemukannya pancaran air dari tanah yang diinjak-injak Ismail. Air inilah yang kemudian dinamakan Air Zam-Zam yang sampai sekarang tidak pernah kering meski telah dikonsumsi oleh jutaan jamaah haji yang datang setiap tahunnya.
Ketika Isma’il baru berumur tujuh tahun, cobaan Allah kembali datang. Nabi Ibrahim As melalui mimpinya diperintahkan oleh Allah SWT untuk menyembelih Isma’il As dengan tangannya sendiri. Ujian ini tentunya sangat berat, namun Nabi Ibrahim As dan Isma’il As tetap sabar dan ikhlas dalam menghadapinya. Bertepatan dengan tanggal 10 Dzulhijjah, Nabi Ibrahim As melaksanakan perintah tersebut. Ketika beliau sudah menempelkan pisaunya di leher Ismail As, sebagai imbalan dari kesabaran dan keikhlasannya, Allah SWT menggantinya dengan seekor kambing sebagai korban.
Rangkaian cobaan yang diterima Nabi Ibrahim As beserta sang putra, Nabi Ismail As, dan Siti Hajar ini yang kemudian diabadikan dalam ritual ibadah di bulan Dzulhijjah ini, baik dalam rangkaian ibadah haji, maupun ibadah qurban.
اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ. لاَّإِلَهَ إِلاَّ اللهِ وَ اللهُ أَكْبَرُ. اللهُ أَكْبَرُ وَللهِ الحَمْدُ

Jama’ah Sholat Idul Adha yang berbahagia,
Begitu bermaknanya peristiwa tersebut sehingga tanggal 10 Dzulhijjah diabadikan sebagai hari raya umat Islam, yaitu Idul Adha atau sering juga disebut sebagai Idul Qurban. Sangat banyak hikmah yang bisa dipetik dari peristiwa itu, kita tarik dalam konteks kekinian dalam kehidupan umat dan bangsa ini. Ini jauh lebih penting dari sekedar kegiatan kegiatan seremonial saja, namun lebih dari itu yang terpenting adalah mengambil pelajaran (hikmah) berharga dari peristiwa tersebut sebagaimana firman Allah SWT:
Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang kemudian. (QS. as-Shaffat: 108).
Salah satu pelajaran yang dapat diambil dari kisah Nabi Ibrahim As tersebut adalah sifat rela berkorban, ikhlas menerima cobaan, selalu  melaksanakan perintah Allah, dan nilai-nilai kerja keras untuk bertahan. Alangkah damai dan sejahteranya  dunia ini kalau kalau sifat dan nilai itu menjadi keseharian kita semua.
اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ. لاَّإِلَهَ إِلاَّ اللهِ وَ اللهُ أَكْبَرُ. اللهُ أَكْبَرُ وَللهِ الحَمْدُ

Jama’ah Sholat Idul Adha yang berbahagia,
Dalam konteks sekarang, ruh dan semangat itu sangat relevan, bagaimana kita dengan kemampuan masing-masing yang kita miliki untuk rela berkorban membantu sesama yang mungkin membutuhkan uluran tangan kita. Atasan membantu bawahan, yang kuat membantu yang lemah, yang besar membantu yang kecil, yang kaya membantu yang miskin, pemimpin membantu rakyatnya, dan yang senang membantu yang susah atau yang terkena musibah.  
Sebagian Saudara kita saat ini sedang dilanda bencana alam secara bertubi-tubi. Setelah banjir bandang Wasior Papua Barat yang menewaskan ratusan nyawa, di Mentawai Sumatera Barat juga ditimpa musibah tsunami yang menewaskan lebih banyak nyawa lagi. Terakhir, gunung Merapi yang merupakan salah satu gunung teraktif di dunia kembali menunjukkan aktivitasnya dan lebih dua ratus nyawa saudara kita, sahabat kita, tetangga kita, terenggut di DIY dan Jawa Tengah. Bencana ini menyisakan kepiluan, kesedihan, dan juga kesulitan hidup. Mereka bukan saja mengalami trauma psikologis, tetapi juga kelumpuhan ekonomi. Dalam situasi yang demikian ini, dibutuhkan sikap tolong menolong dan kedermawanan dari kita semua untuk turut membantu saudara-saudara kita yang sedang ditimpa musibah ini.
Bencana yang melanda bangsa Indonesia harus disikapi sebagai ujian dari Allah SWT. Oleh karena itu kepada saudara-saudara yang menjadi korban kendaknya bersabar dalam menghadapinya karena Allah SWT telah menjanjikan berkah dan rahmat-Nya kepada orang-orang yang bersabar atas segala ujian yang diberikan-Nya. Allah SWT berfirman:

Artinya: “Dan sungguh akan kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: "Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun” (sesungguhnya kami adalah milik Allah dan kepada-Nya-lah kami kembali). Mereka Itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka dan mereka Itulah orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS. Al-Baqarah ayat 155-157).
Musibah yang terjadi juga dijadikan sebagai peringatan untuk mengantisipasi bencana lain yang mungkin datang di kemudian hari. Tidak jarang bencana yang menimpa bangsa ini juga disebabkan oleh ulah tangan dan keserkahan manusia sendiri, misalnya pembalakan yang mengakibatkan banjir dan longsor, eksploitasi pertambangan dan pembangunan yang merusak lingkungan, dan sebagainya. Eksplotasi alam ini tidak jarang mendapat legitimasi dari otoritas yang berwenang, yang akhirnya harus dibayar sangat mahal oleh kita semua. Oleh karenanya, marilah kita semua, apakah pemimpin atau rakyat biasa, untuk saling mengingatkan dan mengoreksi diri, untuk selalu membuat kebijakan dan berprilaku untuk selalu menjaga kelestarian dan hidup berdampingan secara baik dengan alam semesta ini agar tragedi yang memilukan dan silih berganti  ini bisa dikendalikan .  
اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ. لاَّإِلَهَ إِلاَّ اللهِ وَ اللهُ أَكْبَرُ. اللهُ أَكْبَرُ وَللهِ الحَمْدُ

Jama’ah Sholat Idul Adha yang berbahagia,
Budaya kedermawanan, tolong menolong, dan semangat kerja keras menjadi sangat penting lagi untuk dikembangkan di Negara kita mengingat kemiskinan dan pengangguran masih menjadi problematika fundamental bangsa ini. Berdasarkan data BPS (Badan Pusat Statistik) yang dirilis pada Maret 2010, menunjukkan jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 31,02 juta orang atau 13,33 persen. Jumlanya menurun dibandingkan data Maret 2009 yang mencapai 32,53 juta orang atau 14,15 persen. Suatu jumlah yang masih tergolong besar. Lebih dari itu, gambaran kemiskinan ini menjadi lebih memprihatinkan manakala kita melihatnya dari sisi data bantuan beras dari Bulog untuk kaum miskin ini, ternyata angkanya jauh lebih besar, yakni 17,5 juta rumah tangga miskin! Ini berarti tidak kurang 70 juta orang (jika per rumah tangga ada empat orang) penduduk tergolong miskin sehingga harus menerima raskin. Demikian juga rakyat miskin yang menerima subsidi melalui program jaminan kesehatan masyarakat yang jumlahnya sebanyak 76,4 juta yang kurang mampu. Sedangkan jumlah pengangguran tahun 2010 mencapai 8,59 juta orang atau 7,41 persen, dan semuanya ini potensial menjadi miskin.
Melihat kondisi bangsa Indonesia dengan angka kemiskinan yang masih besar, dibutuhkan budaya kedermawanan, budaya untuk membantu sesama, terutama yang diarahkan untuk mengangkat orang-orang miskin tersebut menjadi sejahtera. Islam mengajarkan bahwa sesungguhnya di dalam harta yang kita miliki terdapat dimensi sosial karena di dalamnya terkandung  hak orang lain, sebagaimana firman Allah dalam surat adz-Dzariyat 51: 19:
Artinya: “Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian.”
Selain itu, apapun yang kita miliki termasuk harta, pada dasarnya merupakan ujian, apakah kita menggunakannya untuk kebaikan atau kah keburukan. Allah SWT berfirman:  
Artinya: Dan Dia lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya dan Sesungguhnya dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al-An’am ayat 165)
Dalam sebuah hadist juga dikatakan bahwa pada suatu saat Nabi Muhammad SAW mengatakan kepada Hakim bin Hizam; Wahai Hakim, sesungguhnya harta itu hijau lagi manis. Barangsiapa yang mencarinya untuk kedermawanan dirinya (tidak thama’ dan tidak mengemis), maka harta itu akan membarokahinya. Namun barangsiapa yang mencarinya untuk keserakahan, maka harta itu tidak akan membarokahinya, seperti orang yang makan namun tidak kenyang. Tangan yang di atas lebih baik dari pada tangan yang di bawah” (HR. Bukhari).
Dalam Fathul Bari, Ibnu Hajar Al-Asqalani mengatakan bahwa hadits ini mendorong kepada umat Islam agar mengeluarkan harta yang dimilikinya kepada orang yang membutuhkan dengan penuh keikhlasan. Hadits lain yang juga menunjukkan kedermawanan Nabi Muhammad SAW, misalnya dalam hadits yang diriwayatkan Tabrani, Nabi Muhammad SAW bersabda: “tidak beriman kamu yang melewati malam dengan perut kenyang sementara tetangganya lapar.”
Budaya kedermawanan di atas hendaknya juga dibarengi dengan kerja keras karena rizki Allah tidak akan datang secara tiba-tiba. Kita bisa mencontoh bagaimana Nabi Ibrahim As dan Siti Hajar yang bekerja keras untuk mencari sumber air dalam masa-masa sulit ketika mengalami krisis air. Bahkan jerih payah Siti Hajar yang berlari-lari kecil (sa’i) di antara bukit  Sofa dan Marwah untuk mencari sumber air diabadikan sebagai bagian dari ibadah haji. Jadi untuk mengatasi kemiskinan, kefakiran atau kelaparan, tidak boleh hanya mengandalkan kedermawanan orang lain, melainkan dibutuhkan kerja keras dari setiap individu untuk mengentaskan dirinya dari kemiskinan. Untuk menumbuhkan semangat kerja keras, Nabi Muhammad SAW telah memberikan tips melalui haditsnya: “bekerjalah di dunia seakan engkau akan hidup selamanya dan berbuatlah untuk akhirat seakan engkau akan mati besok”. 
اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ. لاَّإِلَهَ إِلاَّ اللهِ وَ اللهُ أَكْبَرُ. اللهُ أَكْبَرُ وَللهِ الحَمْدُ


Jama’ah Sholat Idul Adha yang berbahagia,
Pengorbanan Ibrahim setidaknya bisa dijadikan modal sosial bagi kita untuk membangun kultur kedermawanan dan kerja keras. Jika kultur kedermawanan dan kerja keras ini terbangun, bukan tidak mungkin lambat laun tingkat kemiskinan di Negara kita akan terus berkurang. Apalagi dibalik angka kemiskinan yang cukup besar, ternyata ada juga sebagian masyarakat Indonesia yang memiliki kekayaan berlimpah. Berdasarkan rilis Majalah Globe Asia pada tahun 2010 ini, dari 15 orang yang masuk ke dalam daftar 150 orang terkaya di Indonesia memiliki kekayaan di atas 805 juta dollar AS atau sekitar Rp. 7,5 triliun bahkan satu diantaranya memiliki kekayaan hingga 4,8 miliar dollar AS atau sekitar Rp 44 triliun. Total dari 150 orang terkaya di Indonesia tersebut, tahun 2010 ini naik 22 persen menjadi 61,5 miliar dollar AS. Angka itu merepresentasikan sekitar 12 persen dari produk domestik bruto Indonesia. Kita bayangkan, alangkah indahnya apabila insan-insan yang super kaya ini mau berbagi kasih dengan puluhan juta rakyat miskin, yang bukan saja memerlukan kebutuhan pokoknya (basic need), namun juga lapangan kerja, sehingga bisa mengangkatnya dari kemiskinan dan pengangguran, serta mengurangi beban bangsa yang masih sarat dengan persoalan ini.
Khususnya bagi kita yang sedang mengemban amanah sebagai pemimpin di Negara ini, hendaknya juga memiliki sikap kedermawanan, atau memberi kepada rakyatnya, bukan sebaliknya. Masyarakat tidak membutuhkan data statistik yang menunjukkan kemajuan Negara ini khususnya di sektor ekonomi, namun yang lebih penting adalah kondisi riil bahwa masyarakat sudah benar-benar mendapatkan kesejahteraan. Seringkali data kemajuan tersebut hanya dijadikan sebagai alat pencitraan. Padahal memberikan kesejahteraan kepada rakyat merupakan kewajiban seorang pemimpin, sehingga tidak perlu dijadikan sebagai alat pencitraan.
Kita bisa mencontoh kepemimpinan khalifah Umar bin Khattab yang sangat peduli kepada rakyatnya. Suatu saat ketika beliau berjalan-jalan pada malam hari untuk melihat kondisi rakyatnya, beliau mendengar tangisan anak-anak kecil di balik sebuah rumah yang sederhana. Kemudian beliau menghampirinya. Setelah masuk, beliau melihat seorang ibu sedang memasak. Tanpa sadar bahwa yang datang adalah khalifah, ibu tersebut bercerita bahwa yang sedang dimasak adalah batu karena anak-anak akan berhenti dari tangisnya ketika melihat ibunya memasak hingga mereka tertidur. Ibu tersebut juga mengadu kepada Umar bin Khatab bahwa khalifah tidak bertanggung jawab kepada rakyatnya. Mendengar pengaduan ibu tersebut, beliau tidak lantas marah namun beliau berpamitan dan mengambil satu karung gandum dari baitul mal untuk diberikan kepada ibu tersebut, bahkan memasakkannya. Dari kisah ini nampak bahwa beliau adalah sosok pemimpin yang sangat peduli kepada rakyatnya, terutama rakyat kecil. Bahkan beliau memberi tanpa menunjukkan identitasnya sebagai khalifah, sehingga jauh dari tujuan pencitraan.
اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ. لاَّإِلَهَ إِلاَّ اللهِ وَ اللهُ أَكْبَرُ. اللهُ أَكْبَرُ وَللهِ الحَمْدُ

Jama’ah Sholat Idul Adha yang berbahagia,
Saat ini sebagian saudara-saudara kita juga sedang berkumpul untuk melaksanakan ibadah haji di baitullah. Ibadah haji ini menjadi salah satu warisan Nabi Ibrahim dan telah menjadi ritual yang dikenang sepanjang masa. Jutaan umat Islam dari berbagai suku dan bangsa berkumpul seraya mengumandangkan kalimat Talbiyah:
لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ، لَبَّيْكَ لاَ شَرِيكَ لَكَ لَبَّيْكَ، إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ، لاَ شَرِيكَ لَكَ
Aku datang memenuhi panggilanMu ya Allah, Aku datang memenuhi panggilanMu, Tidak ada sekutu bagiNya, Ya Allah aku penuhi panggilanMu. Sesungguhnya segala puji dan kebesaran untukMu semata-mata. Segenap kerajaan untukMu. Tidak ada sekutu bagiMu     
Kita mendoakan, mudah-mudahan Allah Swt menjadikan mereka sebagai: Hajjan Mabrur, Sya’yan Masykur, Dzanban Maghfur dan Tijarotan lan Tabur. Amin Allahumma Amin. Kita pun tentunya berdoa  dan berharap, pada tahun-tahun yang akan datang, terutama bagi kita yang belum berhaji, juga dapat menunaikan perintah Allah ini, sebagaimana dinyatakan-Nya dalam surat Ali Imran ayat 97:

 “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Dan barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (Tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam”.
اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ. لاَّإِلَهَ إِلاَّ اللهِ وَ اللهُ أَكْبَرُ. اللهُ أَكْبَرُ وَللهِ الحَمْدُ

Jama’ah Sholat Idul Adha yang berbahagia,       
Akhirnya, marilah kita bersama-sama mulai dari diri kita sendiri untuk menumbuhkan budaya kedermawanan dengan merelakan sebagian apa yang kita miliki untuk membantu saudara-saudara kita yang membutuhkan. Selain itu, budaya kerja keras juga sangat dibutuhkan untuk merubah segala sesuatu menjadi lebih baik. Marilah kita berdo’a agar melalui budaya kedermawanan dan kerja keras, Indonesia dapat menjadi baldatun thoyyibatun wa rabbun ghofur (negara yang sejahtera dan diridhoi Allah SWT), sehingga dapat terwujud kesejahteraan bagi masyarakat secara menyeluruh.
 
اللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلىَ مُحَمَّدٍ وَعَلىَ أَلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ تَبِعَهُ بِإِحْسَانٍ إَلىَ يَوْمِ الدِّيْنِ. اللَّهُمَّ اْغفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اْلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُّجِيْبُ الدَّعَوَاتِ.
رَبَّنَا لاَ تُؤَاخِذْنَا إَنْ نَّسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبَّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا رَبَّنَا وَلاَ تُحَمِّلْنَا مَا لاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلاَنَا فَانْصُرْنَا عَلىَ اْلقَوْمِ اْلكَافِرِيْنَ.
Ya Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, terimalah ibadah kami dan saudara-saudara kami di rumah-Mu, terimalah kurban kami sebagai pembersih nafsu-nafsu hewani dalam diri kami, berilah kami pahala terbaik di sisi-Mu.
Anugerahilah kami ya Allah, pemimpin yang mampu mengemban amanah, yang mampu bertanggung jawab, yang mampu melihat dan mendengar penderitaan sebagian bangsa Indonesia yang masih hidup dalam garis kemiskinan. Pemimpin yang dapat mengantarkan kami untuk meraih kesejahteraan dunia dan kebahagiaan akhirat dalam ridho dan inayah-Mu.
Anugerahilah kami kekuatan untuk memperbaiki bangsa kami, bangsa yang didalamnya ummat-Mu berjumlah demikian besar, agar kami mampu mengangkat derajat agama-Mu, menegakkan ajaran-Mu di negeri yang Engkau karuniakan kepada kami ini. Anugerahkan pula kepada kami keberanian untuk menegakkan yang benar walaupun pahit rasanya. Berikan kami kekuatan untuk senantiasa berada di jalan-Mu.
Ya Allah ya Rabbi, berikanlah kesabaran bagi kami bangsa Indonesia khususnya kepada saudara-saudara kami yang sedang ditimpa musibah dan bencana, serta jadikanlah mereka yang gugur sebagai syuhada’. Berikanlah kesadaran kepada kami bahwa sesungguhnya kami semua adalah milik-Mu, dan kepada-Mu lah kami akan kembali.
Ya Allah, jadikanlah kami sebagai ahlul hikmah yang dapat mengambil hikmah dari segala peristiwa termasuk musibah dan bencana yang secara bertubi-tubi melanda bangsa ini. Gantikanlah musibah dan bencana yang menimpa bangsa ini dengan sesuatu yang lebih baik.


Selasa, 02 November 2010

LEMBAGA PENANGGULANGAN BENCANA - PP MUHAMMADIYAH

Lembaga Penanggulangan Bencana PP Muhammadiyah
Pengamalan Surat Al Ma'un



Kepedulian Muhammadiyah terhadap mereka yang membutuhkan atau orang yang perlu ditolong sudah ada sejak lahirnya.  Seperti pada kisah Kyai Dahlan ketika mengajarkan surat Al Ma’un kepada para muridnya, maka pengulangan pelajaran tersebut dimaksud agar para muridnya tidak hanya menghafal surat tersebut tetapi sekaligus mengamalkan.
Dalam konteks surat Al Ma’un maka ada dua obyek yang harus diperhatikan yaitu “anak yatim” dan “orang miskin”.  Secara bahasa anak yatim sering diartikan dengan anak yang sudah tidak punya orang tua, sedang orang miskin adalah orang yang tidak punya harta.  Sehingga kedua obyek tersebut harus dibantu agar kita tidak termasuk orang yang mendustakan agama.
Dalam konteks bencana, maka korban bencana adalah “orang yang butuh kepedulian” dan “orang yang kehilangan harta”.  Maka agar kita tidak termasuk orang yang mendustakan agama, maka kita harus peduli kepada korban bencana.  Oleh karena itulah bisa kita fahami dalam perluasan pemahaman dan pengamalan Al Ma’un, maka menjadi kewajiban kita bersama untuk membantu korban bencana.
Pada tahun 1919, terjadi letusan G Kelud, Kyai Sujak menggalang warga Muhammadiyah untuk membantu korban G Kelud, sebagai pengamalan surat Al Ma’un.  Kemudian dalam perjalanan persyarikatan, gerakan tersebut dilembagakan dalam PKO, yang kemudian berkembang menjadi MDMC (pasca bencana Tsunami Aceh 2004).   Karena perluasan gerakan maka pasca muktamar Yogyakarta, PP Muhammadiyah membentuk Lembaga Penanggulangan Bencana yang langsung di bawah PP Muhammadiyah.  Karena nama MDMC (Muhammadiyah Disaster Management Center) sudah popular maka kedua nama tersebut dipakai oleh Muhammadiyah.  Ada tiga divisi pada struktur LPB PP Muhammadiyah, yaitu divisi Kesiapsiagaan dan Mitigasi, Divisi Tanggap Darurat, serta Divisi Rehabilitasi dan Kerjasama
Pasca muktamar se abad Muhammadiyah, ada beberapa bencana yang terjadi di tanah air, mulai dari letusan G Sinabung di Sumatera Utara, Banjir dan Longsor di Wasior Papua barat, Letusan Gunung Merapi di Yogyakarta, serta Tsunami Mentawai.  Alhamdulillah meski belum maksimal LPB PP Muhammadiyah dengan didukung oleh Rumh Sakit PKU Muhammadiyah telah mampu berbuat, baik dari segi medis, penyaluran logistik juga pendampingan psikososial dan pendidikan.