BELAJAR DARI SANG PEMBERANI
Kado Untuk Para Pemimpin
Oleh: Muhsin Hariyanto
Asiyah (isteri Firaun) dan Masyitah (pelayan Firaun), kedua-duanya
harus menebus keimanan mereka kepada Allah dengan nyawa mereka. Asiyah –
menebusnya -- di tiang penyiksaannya dan Masyitah – menebusnya -- di
kuali panas mendidih beserta seluruh keluarganya karena mereka berdua
tak sudi menuhankan Firaun. Itulah harga yang
harus mereka bayar dari syajâ'ah (keberanian) mereka. Keberanian untuk
menegakkan kalimah tauhid di saat kematian menghadang.
Asiyah
(isteri Firaun) dan Masyitah (pelayan Firaun) tidak hanya berdua. Mereka
ditemani oleh sosok-sosok tegar yang – dengan lantang – berani
menyuarakan dan menyatakan kebenaran dalam tindakan. Mereka – antara
lain – Ibrahim a.s., Musa a.s. dan, tentu saja, Muhammad s.a.w., uswah
hasanah kita.
Secara manusiawi seseorang memang memiliki sifat
khauf (takut). Namun sifat khauf thabi’i (natural/alamiah) di dalam
setiap diri manusia sengaja diciptakan oleh Allah -- bagi mereka --
sebagai bagian dari mekanisme pertahanan diri.
Kita bolejh
saja takut terbakar api, tenggelam di kedalam air, terjatuh dalam
terkaman binatang buas. Tetapi, semuanya harus berada di bawah control
khauf syar’i, yakni "takut" kepada Allah SWT. Rasa takut itulah yang
secara indah dan heroik diperlihatkan dalam sejarah kehidupan Ibrahim
a.s, Musa dan Muhammad s.a.w. (Sang Idola Kita!).
Keteladan
Ibrahim a.s. terlihat pada peristiwa pembakarannya oleh tentara Namrud.
Rasa takut (khauf) thabi’i terhadap api dan terbakar olehnya teratasi
oleh rasa takut (khauf) syar’i, yakni takut kepada Allah saja. Dan --
pada saat yang tepat -- pertolongan Allah datang dengan perintah-Nya
kepada 'sang api' agar menjadi dingin, menyejukkan serta menyelamatkan
Nabi Ibrahim a.s.
Keteladanan Musa a.s. ditunjukkan dalam
kisah heroiknya ketika menghadapi Sang Tiran (Firaun) dan bala
tentaranya. Rasa takut pada kemungkinan tenggelam ke laut merah teratasi
oleh ketenangan, optimisme dan keberaniannya, dan karena keyakinannya
terhadap pertolongan Allah yang akan kepadanya. Dan benar saja Allah
memberinya jalan keluar berupa mukjizat berupa terbelahnya laut merah
dengan pukulan tongkatnya sehingga bisa dilalui oleh Nabi Musa a.s. dan
para pengikutnya. Kemudian laut itu menyatu kembali dan menenggelamkan
Firaun beserta bala tentaranya.
Keteladanan Muhammad s.a.w.
dipertontonkan kepada kita – umatnya – di ketika menghadapi kejaran para
pembangkang ajaran Allah. Keberanian, ketawakalan dan kepasrahan kepada
Allah yang membuahkan pertolongan-Nya terlihat pada saat beliau bersama
sahabat setianya -- Abu Bakar Ash-Shiddiq -- berada di gua Tsur untuk
bersembunyi sebagai bagian dari rencana besar (strategi) hijrahnya ke
Yatsrib (Madinah). Di saat kaki-kaki musuh yang lalu lalang di seputar
goa itu siap menuju mulut goa, semuanya tidak menggetarkannya. Dan
ketika Abu Bakar begitu mengkhawatirkan keselamatannya, beliau
menenangkannya dengan berkata, “Jangan takut, sesungguhnya Allah bersama
kita” (QS at-Taubah [9]: 40). Dan ternyata, "terbukti" Allah SWT
memberikan pertolongan melalui makhluk-makhluk-Nya yang lain. Burung
merpati yang secara kilat membuat sarang, begitu pula laba-laba di mulut
goa, membuat kaum musyrikin Quraisy yang mengejarnya "yakin" bahwa goa
itu tak mungkin dilalui oleh manusia. Mereka berlalu, dan selamatlah
Muhammad s.a.w. bersama sabahat tercintanya, Abu Bakar Ash-Shiddiq.
Ketiga kisah itu melengkapi kisah heroik Asiyah dan Masyitah. Kalau
Asiyah dan Masyitah, masing-masing ditakdirkan oleh Allah menjadi
syahîdataian (dua wanita yang mati syahid), karena membela kebnenaran.
Ketiga orang Nabi dan Rasul Allah itu diselamatkan oleh Allah, karena
Allah memiliki rencana yang berbeda bagi mereka masing-masing.
Ada pelajaran bagi bagi kita dari kisah-kisah itu. Namun, yang sering
terjadi, tidak banyak orang yang bisa menangkap sinyal-sinyal terang
dari Allah dari kisah-kisah serupa, karena hati mereka masih terliput
godaan setan dan arahan hawa nafsu.
Keberanian, sebagaimana
yang dimiliki oleh Asiyah dan Masyitah, yang terntu saja pasti dimiliki
oleh Ibrahim a.s., Musa a.s. dan – tentu saja – Muhammad s.a.w. tidak
banyak terwarisi oleh umat Islam. Hingga mereka menikmati sikap
pengecut, takut untuk berkata benar, apalagi memperjuangkan kebenaran.
Nabi s.a.w memprediksikan di suatu masa umat Islam akan menjadi
bulan-bulanan dan santapan empuk musuh-musuh Islam karena sudah mengidap
penyakit wahn, yakni cinta dunia dan takut mati. Penyakit itulah yang
menyebabkan umat Islam menjadi "para pengecut", sehingga tidak lagi
disegani oleh musuh-musuhnya. Mereka dipandang sebelah mata.
Di
zaman keemasan Islam, musuh-musuh mersa gentar terhadap umat Islam
karena keberanian para mujahidnya yang hadir ke medan perang dengan suka
cita karena hanya memiliki dua pilihan sama-sama baik, yakni: hidup
mulia dengan meraih kemenangan atau mati syahid di jalan Allah.
Kini, karena terpenjara oleh al-wahn, mereka menjadi pengecut, tidak
memiliki daya tahan tinggi terhadap segala tantangan dan kesulitan
sehingga mudah surut, menyerah atau berputus-asa. Padahal dalam
kehidupan yang semakin berat dan sulit dewasa ini begitu banyak
tantangan dan marabahaya yang harus disikapi dan dihadapi dengan
asy-syajâ'ah (keberanian), karena al-wahn, tidak akan pernah menjadi
bagian dari solusi bagi permasalahan umat Islam.
Saat ini adalah waktu yang tepat bagi umat Islam untuk berbenah diri. Tinggalkan al-wahn, dan segera miliki asy-syajâ’ah.
Dengan modal spiritual berupa keimanan dan ketakwaan yang mantap.
Seharusnya seseorang tidak takut pada apapun dan siapa pun selain Allah.
Saatnya kita bermujâhadah melawan segala rasa takut, cemas dan khawatir
terhadap setiakp risiko perjuangan untuk menegakkan kebenaran. Dan,
tinggalkan keluh-kesah atas beratnya beban perjuangan. Yakinkan pada
diri kita bahwa perjuangan para Nabi dan orang-orang shaleh terdahulu
jauh lebih berat daripada beban kita, tetapi mereka tetap memiliki
"keberanian" untuk berjihad di jalan Allah.
Apalagi ketika
kita menjadi pemimpin umat. Perjuangan kita memerlukan "keberanian
ekstra", agar umat pun memiliki keberanian untuk menyatakan yang benar
adalah benar, dan memperjuangkannya menjadi sebuah kenyataan. Kita,
seharusnya menjadi yang pertama dan utama. Uswah Hasanah bagi umat kita
di ranah mana pun kita berada.
Semoga Allah meridhai apa pun yang kita lakukan.!
Penulis adalah Dosen Tetap FAI-UMY dan Dosen Luar Biasa STIKES 'Aisyiyah Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar