Label

Selasa, 14 September 2010

Khutbah Hari Raya ‘Idul Fitri 1431 H

MERAYAKAN KEMANUSIAAN,
MEWUJUDKAN RAHMAT BAGI SEMESTA


Khutbah Hari Raya ‘Idul Fitri 1431 H
Di Alun-Alun Utara Yogyakarta
Dr. Hamim Ilyas, MA



Assalamu’alaikum wr. wb.


Kaum Muslimin dan Muslimat yang dimuliakan Allah!
Terlebih dahulu marilah kita memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT yang selalu melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada kita, sehingga pada hari ini kita bisa melaksanakan anjuran agama kita, melaksanakan shalat hari raya yang diselenggarakan di alun-alun yang luas dan asri ini. Mudah-mudahan segala amal ibadah yang kita lakukan, khususnya selama bulan Ramadhan, diterima-Nya dan menghasilkan buah yang baik bagi kehidupan kita di dunia dan di akherat.


Kemudian sebagai khathib pada kesempatan khuthbah hari raya pagi hari ini, perkenankanlah kami mengingatkan diri pribadi kami dan kepada segenap jamaah sekalian untuk senantiasa meningkatkan ketakwaan kepada Allah SWT. Marilah peningkatan ketakwaan ini kita jadikan agenda spiritual dalam hidup kita, sehingga kita mengusahakannya dengan sungguh-sungguh sampai kita menjadi manusia ideal menurut agama kita, yakni manusia yang paling bertakwa kepada-Nya, sebagaimana yang difirmankan dalam S. al-Hujurat, 49: 13, “Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di hadapan Allah adalah orang yang paling bertakwa.”


Kaum Muslimin dan Muslimat yang dimuliakan Allah!
Pada hari ini kita merayakan hari raya setelah pelaksanaan kewajiban puasa di bulan Ramadhan. Hari raya itu, seperti telah kita ketahui bersama, disebut dengan ‘Idul Fithri. Dalam bahasa Arab ‘id berarti hari raya (yaum fihi jam’ wa tizkar) dan al-fithr yang dinisbatkan kepada orang berpuasa (as-shaim) berarti makan atau minum. Dengan demikian hari raya itu dimaksudkan untuk merayakan kebolehan kembali orang Islam untuk makan atau minum di siang hari, setelah sebelumnya dilarang selama berpuasa sebulan penuh di bulan ke-9 dalam kalender Hijriyah itu.

Mengapa Islam menetapkan hari mulai dibolehkannya makan atau minum di siang hari itu menjadi hari raya? Jawaban atas pertanyaan ini berkaitan dengan Islam sebagai agama fitrah, agama yang sesuai dengan asal kejadian manusia dari berbagai perspektif. Dari perspektif agama, manusia merupakan makhluk beragama yang menurut kodratnya mempercayai adanya Tuhan; dari perspektif filsafat manusia merupakan makhluk berfikir (homo sapiens) yang membutuhkan keberadaan; dari sudut individu manusia merupakan makhluk unik yang membutuhkan otonomi untuk aktualisasi diri; dari sudut sosial, manusia merupakan makhluk sosial yang membutuhkan pergaulan dalam keluarga dan masyarakat; secara psikologis manusia merupakan makhluk berjiwa yang membutuhkan ketenteraman dan kebahagiaan; dan secara biologis, manusia merupakan makhluk hidup yang membutuhkan makan dan minum.
Agama kita (Islam) dengan ajaran-ajarannya menjawab kebutuhan manusia dari semua perspektif itu. Dia menjawab kebutuhannya akan kepercayaan kepada Tuhan dengan mengajarkan kemahaesaan dan kasih-sayang-Nya; menjawab kebutuhan keberadaan (eksistensial)-nya dengan menunjukkan bahwa yang utama bagi manusia adalah bagaimana menjadi (to be) orang yang bertakwa; menjawab kebutuhan aktualisasi dirinya dengan memberinya amanat menjadi hamba dan khalifah yang harus beribadah kepada-Nya dan memakmurkan bumi; menjawab kebutuhan sosialnya dengan menganjurkan pernikahan dan hubungan yang bersendikan persamaan, persaudaraan, kemerdekaan dan keadilan; menjawab kebutuhan psikologisnya dengan menganjurkan tawakkal, menerima diri setelah berusaha, dan zikir; dan memenuhi kebutuhan biologisnya dengan membolehkannya makan dan minum.

Berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan biologis ini, ketika Islam datang pada awal abad ke-7 M, umat beragama di berbagai belahan dunia, termasuk Arab, ketika itu, berada di bawah pengaruh spiritualisme yang sangat kuat. Di bawah pengaruh budaya yang menekankan kehidupan rohani secara berlebihan itu, mereka bersikap anti dunia, membentuk komunitas-komunitas rohani, seperti kahonim dari Yahudi, dan memiliki banyak pantangan, termasuk pantang nikah (tabattul), makan dan minum secara tidak rasional. Meskipun Islam sangat menghargai spiritualitas, ia berusaha untuk mengubah kebudayaan spiritualistis seperti itu karena tidak sesuai dengan fitrah manusia sebagai makhluk yang multi dimensi. Jadi ‘Idul Fithri dalam pengertian yang disebutkan di atas memiliki makna kebudayaan ini.


Kaum Muslimin dan Muslimat yang dimuliakan Allah
Manusia yang menurut fitrahnya merupakan makhluk yang multi dimensi itu secara mendasar diapresiasi dalam paradigma Islam agama rahmat yang ditegaskan dalam Q.S. al-Anbiya', 21: 107:


وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
Kami tidak mengutusmu (Muhammad) kecuali untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam.
 

Rahmat adalah riqqah taqtadli al-ihsan ila al-marhum, kelembutan yang mendorong memberikan kebaikan kepada yang dikasihi. Berdasarkan pengertian ini, maka Islam agama rahmat itu pengertiannya adalah Islam memberikan kebaikan yang aktual, kebaikan yang nyata kepada seluruh alam, tidak terbatas pada umat manusia, apalagi umat Islam saja.

Sebagai agama, Islam memberikan kebaikan yang nyata melalui ajaran-ajarannya yang otentik yang dapat ditemukan dalam al-Qur’an, di antaranya sebagai berikut: 


Pertama, agama
Agama yang diajarkan al-Qur’an dan diharapan menjadi pedoman dalam perilaku keagamaan umat Islam adalah agama dengan dasar, kerangka dan bangunan tertentu. Dasarnya adalah keimanan bahwa inti sifat Allah adalah rahmat dan Nabi Muhammad diutus sebagai rahmat. Kerangka teologisnya adalah: ad-din al-qayyim (agama yang tegak karena memilki inilai-nilai spiritual, moral dan emansipatoris); ad-din al-khalish (agama murni yang menghindarkan manusia dari degradasi kehidupan) dan din al-haq (agama kebenaran yang menghindarkan manusia dari kerugian –khusr- baik sebagai pribadi, umat, masyarakat maupun bangsa). Dan bangunan organisasinya adalah Islam kaffah (keberagamaan tri-dimensi, peradaban materiel-spirituil, dan integrasi sosial-politik).


Kedua, negara.
Negara yang diajarkan al-Qur’an dan menjadi pedoman dalam perilaku hidup bernegara adalah: balad amin (negara yang aman dan damai), baldah thayyibah wa rabb ghafur (negara adil, makmur, memiliki wawasan lingkungan hidup, kejahatan di dalamnya bisa dikendalikan atau diminimalisir) dan al-balad al-amiin (negara yang amanah menjamin hak-hak asasi warga negara).


Ketiga, politik.
Politik yang diajarkan al-Qur’an adalah penyelenggaraan negara yang berdasarkan asas-asas: menjamin hak asasi warga negara (an tu’addul amanat ila ahliha), keadilan (an tahkumu bil ‘adl), konstitusionalisme (athi’ullah), negara hukum (athi’ur rasul), perwakilan (ulil amri) dan asas legalitas (farudduhu ilallah warrasul).
 

Keempat, ekonomi.
Ekonomi yang diajarkan al-Qur’an adalah ekonomi yang tidak boros dalam semua kegiatannya: produksi, distribusi dan konsumsi (wa la tubadzir, innal mubadzirin kanu ikhwanas syayathin); dan tidak mengandung kebatilan (riba, gharar, maisir, kedhaliman, dan paksaan).
 

Kelima, sosial.
Masyarakat yang diajarkan al-Qur’an dan menjadi pedoman dalam hidup bermasyarakat adalah masyarakat dengan sistem sosial egalitarianisme (kana an-nas ummah wahidah), dengan struktur sosial pluralisme (ja’alnakum syu’uban wa qabaila li ta’arafu), dengan pola interaksi yang diajarkan akomodasi, bukan persaingan dan konflik (an tabarruhum wa tuqsithu ilaihim), dan dengan kejiwaan berjiwa besar (ummatan wasatha) sehingga dalam pergaulan sesama masyarakat berusaha untuk selalu berada di depan (fastabiqul khairat).
 

Keenam, budaya.
Budaya yang diajarkan oleh al-Qur’an adalah budaya transformatif, yakni budaya dinamis dengan perubahan yang terus-menerus untuk memperbaiki kualitas kehidupan (innallah la yughayyiru ma bi qaum hatta yughayyiru ma bi anfusihim). Perubahan itu terjadi dalam semua tujuh unsur kebudayaan: peralatan dan perlengkapan hidup manusia, mata pencaharian dan sistem ekonomi, sistem kemasyarakatan, bahasa, kesenian, sistem pengetahuan, dan religi.
 

Ketujuh, hukum.
Hukum yang diajarkan al-Qur’an adalah hukum yang adil (an tahkumu bil ‘adl). Hukum yang adil ini adalah yang tidak bertentangan dengan moral, sehingga hukum itu menjamin persamaan manusia, kebebasannya dan kerjasama di antara mereka. Hukum yang demikian bisa hukum Tuhan dan hukum kontrak sosial.
 

Kedelapan, pendidikan.
Pendidikan yang diajarkan al-Qur’an adalah pendidikan yang dapat mengantar peserta didik untuk hidup sejahtera (hayah thayyibah) melalui amal saleh (produksi kekayaan fisik, moral, intelektual, spiritual, sosial, dan ekonomi) dan menjadi mukmin (tidak berorientasi pada diri sendiri).
 

Kesembilan, ilmu pengetahuan.
Ilmu pengetahuan yang diajarkan al-Qur’an adalah ilmu pengetahuan yang meninggikan derajat (yarfa’illahu all-ladzina amanu minkum walladzina utul ‘ilma derajat). Derajat yang ditinggikan oleh ilmu itu adalah derajat semua bidang kehidupan, masing-masing dengan tingkatan-tingkatannya sendiri, seperti ekonomi dengan tingkatan produksi dengan tenaga manusia, tenaga hewan dan tenaga mesin. Di samping itu ilmu tersebut juga membuat pemiliknya mempunyai spiritualitas yang tinggi (innama yakhsyallah min ‘ibadihil ulama’).
 

Kesepuluh, keluarga.
Keluarga yang diajarkan al-Qur’an adalah keluarga sakinah (li taskunu ilaiha) yang berdasarkan rahmah (cinta aktual) dan mawaddah (cinta potensial). Dalam keluarga demikian, hak dan kewajiban isteri seimbang (wa lahunna mitslul ladzi ‘alaihinna bil ma’ruf) dan hubungan suami-isteri diselenggarakan dengan mu’asyarah bil ma’ruf sehingga tidak ada kekerasan dalam rumah tangga, baik kekerasan fisik, psikis, seksual maupun ekonomi.
 

Kesebelas, jihad.
Jihad pada dasarnya merupakan perjuangan atau usaha yang sungguh-sungguh untuk mempertahankan eksistensi secara sosial-politik. Pada zaman nabi jihad identik dengan perang atau qital karena untuk mempertahankan eksistensi dia dan para pengikutnya harus berperang melawan musuh yang datang ke Madinah untuk menyerbu. Apabila tidak melawan, maka mereka akan musnah, hilang eksistensinya di muka bumi. Adapun sekarang jihad identik dengan produksi karena masyarakat yang tidak dapat melakukan produksi sehingga semua kebutuhan hidup mereka tergantung pada masyarakat yang lain akan mengalami kemusnahan eksistensial secara sosial-politik.

Kaum Muslimin dan Muslimat yang dimuliakan Allah
Agama menetapkan ajaran dan umat berkewajiban mengamalkannya. Adalah kewajiban kita mengamalkan ajaran-ajaran tersebut sehingga kita dapat mewujudkan rahmat Islam bagi semesta, khususnya di Negara Republik kita tercinta. Dengan mewujudkan rahmat itu berarti kita mengamalkan nilai shalat sebagai simbol sentral dalam agama kita, memuja Tuhan (Allahu akbar) ending-nya adalah salam: menebarkan kedamaian, rahmat dan berkat-Nya.
Demikianlah khutbah kami, mudah-mudahan ada manfaatnya. Marilah kita akhiri dengan berdoa.
Wassalamu’alaikum wr. wb.

2 komentar:

Administrator mengatakan...

wahh,, update terus yah blog nya ... salam kenal !!!

dari galesong

iyuth_ahmad mengatakan...

mohon maaf ikut copas