Label

Jumat, 07 Februari 2014

BENCANA, EKOLOGI DAN HUMANITARIANISME

BENCANA, EKOLOGI DAN HUMANITARIANISME
Muhammad Azhar

Konsep tentang bencana ada yg tergolong pada natural disaster, namun ada pula yg terkait dgn human error. Yg pertama tentu “murni” dari kuasa Allah SWT, sedangkan yg kedua sering dianggap sbg kesalahan prilaku manusia. Kasus gempa bumi (earth quake), lumpur Lapindo (menurut sebagian pakar geologi), angin topan/puting beliung, membekunya es di AS, dan semisalnya, bisa digolongkan pada natural disaster. Sementara banjir, kebakaran dan sejenisnya termasuk pada wilayah human error, sbgmana firman Allah SWT: “Telah nyata kerusakan di darat dan di laut akibat ulah manusia”. Dalam firman yg lain juga dicantumkan bahwa segala hal positif itu datangnya dari Allah, adapun yg negatif akibat ulah manusia sendiri.
Berbicara ttg bencana tentunya tak dapat dipisahkan dari pemahaman ttg Taqdir, Ikhtiar dan Sunnatullah (yg telah diketahui maupun yg belum diketahui/terdeteksi). Di kalangan ulama Islam banyak penafsiran ttg tiga konsep tsb. Di sini penulis sederhanakan sbb: Taqdir merupakan ketetapan ilahi, sesuai dengan upaya minimal atau maksimal (Ikhtiar) manusia dalam memahami dan menjalani hukum-hukum Tuhan (Sunnatullah) di bidang social maupun natural selama hidup di dunia. Bila sunnatullah di bidang sosio-kultural memiliki dimensi relativitas yg tinggi, maka sunnatullah di wilayah natural-fisikal nilai relativitasnya lebih rendah. Sunnatullah atau hukum alam dan sosial ini akan menimpa semua umat manusia tanpa melihat aspek suku, bangsa bahkan agama. Misalnya, orang kafir yg rajin membaca/belajar dan berusaha tentu akan lebih cerdas, kaya, sehat dan sejahtera dibanding umat muslim yg malas belajar, malas berusaha dan malas berolah-raga. Contoh lainnya, bangunan gereja yg memiliki penangkal petir akan lebih selamat dari kilatan petir ketimbang masjid yg dibangun tanpa penangkal petir. Jadi, secara sunnatullah, hukum alam yg berlangsung di dunia ini bersifat adil dan objektif. Secara taqdir dan sunnatullah, umumnya masin-masing daerah/Negara sudah punya “sunnatullah”-nya sendiri-sendiri sesuai bakat alam yg mengitari. Misalnya, negara AS dan sebagian Eropa selalu akan didera badai topan dan es; Jepang, sebagian wilayah Iran dan pantai selatan Jawa maupun Sumatera lebih “berbakat menikmati” gempa karena secara sunnatullah memang berada di wilayah ring of fire. Daerah-daerah yg dekat pegunungan tentu lebih berpotensi mengalami bencana dampak meletusnya gunung api seperti Merapi, Sinabung, dll. Demikian contoh-contoh potensi bencana di daerah atau Negara lainnya.
Namun, mengingat manusia sebagai khalifatullah fil-ardl, maka baik potensi bencana yg natural disaster maupun human error, tetap berlaku firman Allah bahwa: “Sesungguhnya Allah tdk akan merubah nasib suatu kaum, kecuali kaum itu sendiri terlebih dahulu berupaya merubah nasib mereka sendiri.“ (QS ar-Ra’du: 13). Maka untuk menjadi manusia sebagai agen ikhtiar dan agen perubahan yg memiliki kemampuan manajerial dalam pengelolaan alam dan kehidupan social, sudah barang tentu sangat dibutuhkan sarjana/ilmuan yg ahli dlm mengelola lingkungan dan tanggap bencana. Menarik sekali, misalnya, di UIN Suka Yogyakarta telah dibuka program S2 Social Worker yg lulusannya kelak diharapkan memiliki ketrampilan manajerial di bidang pembangunan maupun ahli di bidang kebencanaan dan sejenisnya. Pada level Negara juga telah diwujudkan sebuah institusi kebencanaan yakni Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), demikian pula 33 cabangnya di daerah-daerah atau BPBD.
Ormas keagamaan seperti Muhammadiyah juga telah membentuk MDMC (Muhammadiyah Disaster Management Center), juga ormas lain seperti DSUQ, LAZIS, Dompet Dluafa, dll. Berbagai perusahaan juga telah memiliki unit CSR (Corporate Social Responsibility) yg sebagian unit kerjanya aktif di bidang kebencanaan. Demikian pula PMI/Palang Merah Indonesia yg kini dipimpin oleh bpk Yusuf Kalla. Secara personal banyak bermunculan para relawan (voluntir) di bidang komunitas pelestari lingkungan seperti yg telah banyak ditampilkan dalam acara Kick Andy. Di dunia internasional seperti Malaysia, telah muncul gagasan criminilizing war yg dipelopori mantan PM Malaysia, Dr. Mahatir Mohammad. Demikian pula halnya yayasan kemanusiaan yg dipelopor oleh mendiang Nelson Mandela, Afrika Selatan. Mengingat perang juga akan melahirkan bencana social yg maha dahsyat, seperti yg kini tengah terjadi di Mesir, Suriah, Yaman, Irak, Afghanistan, Sudan Selatan, Myanmar bahkan Thailand yg kini berpotensi mengalami perang saudara. Khusus di Indonesia, masyarakat juga berharap lembaga seperti masjid, gereja/peribadatan lainnya, serta berbagai lembaga pendidikan sosial bisa dikembangkan menjadi pusat antisipasi bencana yg secara periodik melakukan edukasi, kampanye bahkan didesain sejak dini menjadi tempat pengungsian tatkala ada bencana. Yg tak kalah pentingnya adalah – terutama bagi partai politik – agar jangan sampai ada “politisasi bencana”. Maka secara keseluruhan, umat dan warga bangsa di masa depan perlu lebih meningkatkan lagi wawasan tentang humanitarianisme yg sejatinya memang membutuhkan ketulusan dan energi social yg berkelimpahan melalui konsep Ihsan.
Yg perlu juga disadari oleh umat dan warga bangsa bahkan warga dunia masa kini adalah bahwa bencana alam kini bukan lagi sebagai musibah yg perlu ditakuti, tetapi manusia butuh paradigm baru dimana bencana social dan alam sebaiknya dianggap sbg “sahabat”. Saatnya kini manusia “bersahabat” dengan berbagai bencana. Untuk itu diperlukan sikap mental antisipatif sejak dini berupa edukasi wawasan kebencanaan social maupun alam sejak kanak-kanak, bahkan sejak TK/SD sebagaimana pendidikan simulasi bencana di sekolah-sekolah dasar di Jepang. Juga pentingnya pewarisan “kisah-kisah” bencana melalui buku, film serta dokumentasi foto-foto pasca bencana, agar generasi muda masa depan lebih sadar bencana, mengingat 80% wilayah Indonesia memang rawan bencana. Selain itu perlu diadakan pelatihan secara periodik tentang antisipasi pra dan pasca bencana seperti persiapan tehnis: penyediaan stok makanan, air bersih/minum, penerangan, tikar, kasur, selimut terutama bagi anak-anak balita dan kaum perempuan, paling tidak selama 7 hari pasca bencana. Biasanya bantuan social pasca bencana butuh berhari-hari sampai ke korban bencana. Juga perlunya kesadaran warga untuk bersedia direlokasi seperti korban bencana Merapi di luar radius 15-20 km, Sinabung 5 km, serta daerah rawan longsor maupun pembangunan rumah susun bagi penduduk sekitar sungai. Wawasan tentang filosofi, teologi serta fikih bencana, fikih air, fikih lingkungan, dll perlu dirumuskan secara lebih aktual dan kontekstual, mengingat kajian Islamic studies klasik selama ini belum berbicara banyak tentang kebencanaan tsb. Kinilah saatnya para guru, dosen, da’i, khatib, ustaz, kiai, penulis secara gencar dan massif mendakwahkan tentang isu bencana ini secara lebih aktual dan kontekstual, selain isu korupsi, narkoba dll.
Tak kalah pentingnya adalah membangun rasa solidaritas keumatan dan kebangsaan melalui penggalangan dana dan bahan material lainnya yg dibutuhkan para pengungsi dan korban bencana alam. Perlu juga ditambahkan di sini bahwa dalam mengantisipasi datangnya bencana diperlukan tiga tahapan: pertama, Mitigas: kesiapan psikologis, sosiologis, politis, ekonomis dan cultural pada saat SEBELUM datangnya bencana, yakni pentingnya bagi masyarakat untuk mengikuti informasi para pakar bencana seperti dari BMKG, BNPB, BPDB dan sejenisnya yang selalu mewanti-wanti masyarakat tentang, mislanya, status: NORMAL, WASPADA, SIAGA dan AWAS dari letusan gunung api. Banyaknya korban gunung Merapi maupun Sinabung salahsatunya sebagian masyarakat cuek dengan peringatan dini pra-bencana. Kedua, tahapan Tanggap Darurat terutama beberapa jam/hari setelah terjadi bencana. Ketiga, tahap Rekonstruksi/Rehabilitasi pasca bencana. Idealnya Pemda, tokoh-tokoh masyarakat sudah memberikan edukasi kepada warga sekitar pada tahap Mitigasi/pra-bencana. Negara Jepang telah mengantisipasi datangnya bencana pada tahap pertama/mitigasi sehingga bisa meminimalisir korban jiwa. Demikian juga setiap daerah di tanah air sebenarnya memiliki banyak kearifan local yang bisa dimodifikasi untuk tahapan mitigasi.
Ke depan, umat serta warga bangsa perlu mewujudkan konsep dan aplikasi green city yakni mengembalikan tata manajemen perkotaan kembali menuju suasana pedesaan yg asri, original dan harmoni (friendly) dengan alam (Lebih lanjut lihat: Demokrasi Religius edisi 25 ttg Lingkungan Hidup, dan edisi 34 ttg Fikih Air). Semoga. Wallahu a’lam bisshawab.-,

https://www.facebook.com/groups/111975225553404/permalink/584018968349025/

Tidak ada komentar: